BATUSANGKAR, KP – Salawat dulang atau Salawaik Dulang merupakan sastra lisan Minangkabau bertemakan Islam. Sesuai namanya, Salawat dulang berasal dari kata salawat yang berarti salawat atau doa untuk nabi Muhammad SAW dan dulang atau talam, yaitu piring besar dari loyang atau logam yang biasa digunakan untuk makan bersama.
Salawat dulang biasanya ditampilkan oleh minimal dua klub dan diiringi tabuhan pada ‘dulang’, yaitu nampan yang terbuat dari bahan kuningan atau bahan lainnya. Dalam bahasa sehari-hari, sastra lisan itu hanya disebut ‘salawat’ ataupun ‘salawek’ saja. Dalam sastra masyarakat Minangkabau, pertunjukan salawat dulang selalu menceritakan kisah kehidupan nabi Muhammad SAW, cerita yang memuji nabi, berhubungan dengan persoalan agama Islam dengan diiringi irama bunyi ketukan jari pada dulang atau piring logam besar itu.
Pertunjukan salawat dulang biasanya dilakukan dalam rangka memperingati hari-hari besar agama Islam dan ‘alek nagari’. Pertunjukan tersebut tidak dilakukan di kedai (lapau) atau lapangan terbuka, namun biasanya hanya dipertunjukkan di tempat yang dipandang terhormat seperti masjid, musala atau surau.
Sementara sifat pertunjukan itu sendiri selalu menghadirkan tanya jawab antar klub salawat, saling serang dan saling berusaha mempertahankan diri. Dalam pertunjukannya, kedua tukang salawat duduk bersisian dan menabuh talam secara bersamaan. Keduanya berdendang secara bersamaan atau saling menyambung larik-lariknya yang berbentuk syair. Hal itu pulalah yang dilakukan jemaah syatariyah Nagari Andaleh Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanahdatar, dalam merayakan hari raya Idul Fitri 1443 H tahun ini, Rabu (11/5) malam di Masjid Al Mubaraq Nagari Andaleh.
Bupati Tanahdatar, Eka Putra yang hadir pada acara tersebut sangat mengapresiasi kegiatan itu. “Kegiatan ini merupakan salah satu tradisi masyarakat yang harus tetap dilestarikan sebagai kekayaan budaya masyarakat di Minangkabau,” ujarnya.
Dikatakannya, salawat dulang sangat tepat pada kondisi saat ini. Gempuran modernisasi dan teknologi, membuat banyak masyarakat terutama generasi muda acuh tak acuh pada adat istiadat, tidak peduli pada seni tradisi, juga tidak lagi mengenal budaya adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
“Semoga kegiatan ini juga dapat menjadi sarana kita mengenalkan kepada anak kemenakan kita, tentang budaya minangkabau. Apalagi kita di Tanahdatar merupakan Luhak nan Tuo, pusat kebudayaan alam Minangkabau itu sendiri. Kita harapkan adanya regenerasi pelaksanaan kegiatan ini sehingga generasi muda dapat mengisi waktu melakukan kegiatan bermanfaat jauh dari hal yang membawa mudarat,” harapnya.
Selain itu Bupati Eka Putra berharap kegiatan tersebut dapat menjadi sarana silaturahmi dan berkumpulnya masyarakat, saling berkomunikasi dan menciptakan kontrol sosial sesama anggota masyarakat. Sehingga dapat menjadi kekuatan menangkal paham-paham radikal maupun aliran-aliran sesat, yang menjadi tantangan dalam kehidupan bermasyarakat, berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan di nagari.
Menurut Bupati, pemerintah juga menaruh perhatian tinggi terhadap pelaksanaan nilai keagamaan serta adat dan budaya di Tanahdatar. Hal ini tergambar dalam visi Kabupaten Tanahdatar, yaitu ‘Terwujudnya Kabupaten Tanahdatar madani berlandaskan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’. Dan dipertegas pada misi pertama yaitu ‘meningkatkan kehidupan beragama, beradat dan berbudaya’.
“Komitmen ini kita wujudkan melalui program unggulan di bidang keagamaan untuk mewujudkan Tanahdatar madani. Ada program satu rumah satu hafiz dan peningkatan kesejahteraan guru TPA dan tahfiz,” terangnya.
Lebih lanjut disampaikannya, di bidang adat dan budaya pemerintah juga telah menganggarkan peningkatan biaya operasional KAN, LKAAM, bundo kanduang dan organisasi keagamaan. “Kita berharap adat dan budaya di Tanahdatar semakin kokoh sebagai ciri khas dan kebanggaan luhak nan tuo,” tambahnya. (nas)